JOGJA, BERNAS --Ilmu ekonomi Pancasila ibarat hanya menjadi "pelengkap penggembira" di ruang-ruang kelas fakultas ekonomi perguruan tinggi di Indonesia, seperti halnya matakuliah koperasi yang tidak maju-maju dan tidak mampu membentuk sistem kooperativisme (kebersamaan dan asas kekeluargaan) secara makro ekonomi terhadap usaha swasta dan BUMN untuk mengemban kebersamaan demi meredam kapitalisme.
"Pengajaran ilmu ekonomi menjadi suatu belantara. Para dosen banyak yang tidak tahu dimana keberadaannya, dimana menempatkan diri, karena mereka kurang memahami tanggungjawab intelektualnya," kata Prof Dr Sri-Edi Swasono, Guru Besar UI yang juga Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa (MLPT), dalam acara bedah buku Ekspose Ekonomika, Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas karyanya di Aula Kantor Kopertis Wilayah V DIY. Bedah buku yang dimoderatori Prof Dr Gunawan Sumodiningrat itu dihadiri ratusan dosen dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di wilayah Kopertis Wilayah V DIY dan diprakarsai Koordinator Kopertis Wilayah V bekerjasama dengan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta.
Menurut Prof Sri-Edi Swasono, ketidakberhasilan perguruan tinggi untuk memasukkan sistem ekonomi Pancasila ke dalam kurikulum pengajaran ekonomi secara integral dan menempatkannya pada kedudukan sentral-substansial, karena kita hanya menerima moral ekonomi Barat, merasa nyaman mengajarkan ilmu ekonomi berdasarkan nilai dan pola pikir Barat.
"Tidak adanya keinginan, kemauan atau kemampuan mengkritisi nilai-nilai Barat (liberalisme, individualisme, self-interest) yang mendasarinya sekaligus tidak adanya keinginan, kemauan atau kemampuan memahami nilai-nilai keindonesiaan, telah menjadi sebab-musabab mengapa ekonomi Pancasila tidak bisa masuk secara integral ke dalam pengajaran ilmu ekonomi. "Ini merupakan academic hegemony sekaligus academic poverty yang menghambat masuknya sistem ekonomi Pancasila ke dalam ruang-ruang kelas," kata Prof Sri-Edi Swasono.
Menurut Sr-Edi Swasono, sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi konstitusi dalam arti bahwa sesuai dengan pesan imperatif konstitusi, kita harus mengubah "ekonomi kolonial" menjadi "ekonomi nasional", karena itu perlu dimasukkan dalam kurikulim perguruan tinggi di Indonesia. Dari sinilah kita harus bertitik-tolak bahwa kemerdekaan Indonesia menolak liberalisme dan kapitalisme bahwa perekonomian harus "disusun" dan tidak dibiarkan "tersusun sendiri" secara liberal sesuai kehendak pasar, bahwa perekonomian nasional Indonesia harus berdasarkan perencanaan, yang tentulah "state-driven" dan bahwa mekanisme "market-driven" harus diselaraskan (must be conformed) dengan rencana negara.
Sementara Prof Gunawan Sumodiningrat menilai buku karya Prof Sri-Edi Swasono ini sangat menarik dan penting untuk diajarkan di fakultas-fakultas ekonomi perguruan tinggi di Indonesia. Karena buku tersebut lebih menekankan pada sistem ekonomi Pancasila yang cocok diterapkan dan diimplementasi dalam ekonomi Indonesia.
Hal yang sama disampaikan Dekan FE UST Suyanto. Dikatakan, buku ini sangat tepat sebagai buku teks sistem ekonomi untuk mengisi ruang-ruang kelas di fakultas-fakultas ekonomi dan wajib untuk pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia. "Sistem ekonomi Indonesia pada dasarnya tergambar jelas pada sila ke-5 Pancasila dan sejumlah pasar UUD 1945," kata Suyanto.
Di dalam buku ini, menurut Suyanto, Prof Sri-Edi Swasono secara tegas menolak ideologi fundamentalisme pasar (pasar bebas/laissez-faire)-nya Adam Smith, menolak liberalisme dan individualismenya Adam Smith. Fundamentalisme pasarnya Adam Smitf, yang ujung-ujungnya menyatakan berlakunya secara otomatis an invisible hand yaitu tangan "tak kelihatan" yang mengatur pasar, yang disebut Prof Sri-Edi sebagai "tangan ajaib", dengan tegas ditolak.
Dengan menyitir pendapat tokoh-tokoh besar ekonomi terkemuka, Prof Sri-Edi menegaskan bahwa pasar tidaklah self-correcting dan self-regulating. Pemerintah tidak saja harus turun tangan, tapi menata dan mengatur pasar.
Sementara Koordinator Kopertis Wilayah V DIY Dr Ir Bambang Supriyadi mengatakan, buku ini sangat tepat diajarkan di perguruan tinggi agar para akademisi memahami bagaimana menyikapi ekonomi global. Dengan memahami ekonomi global maka perguruan tinggi bisa menyiapkan mahasiswa sesuai kebutuhan pasar. Menurut Dr Bambang Supriyadi, slama ini masih banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak terserap di dunia kerja. Ia memberi contoh, pada tahun pada tahun 2013 dari total lulusan perguruan tinggi ada 8 persen lebih yang menganggur dan tahun 2014 naik lagi menjadi 9,5 persen yang menganggur. Bahkan pada tahun 2016, ada 11 persen lulusan perguruan tinggi yang menganggur. "Yang menyedhkan, pada 2014 dari 660 ribu lulusan perguruan tinggi yang meganggur, sebanyak 495 orang bergelar sarjana ddan sisanya lulusan diploma," kata Bambang Supriyadi. (phj)
PHILIPUS JEHAMUN/HARIAN BERNAS
BEDAH BUKU --Guru Besar Fak Ekonomi UGM Prof Dr Gunawan Sumodiningrat (kedua dari kiri) saat memimpin acara bedah buku karya Prof Dr Sri-Edi Swasono di Aula Kantor Kopertis Wilayah V DIY, Kamis (16/2) kemarin.